Minggu, 29 April 2012

Kehidupan = Sepakbola, Sulit Ditebak Kemana Akan Bergulir

Bola Itu  tidak mendengar idiom sepakbola yang simpel dan penuh makna tersebut. Ditengah sepakbola yang telah memasuki era komersialisasi berbalut sepakbola industri, para konglomerat dunia berduyun-duyun untuk membeli saham suatu klub sepakbola dengan tujuan untuk membawa klub tersebut berprestasi dan meraup keuntungan sebesar-besarnya. Untuk mencapai tujuannya tersebut, setiap klub harus memenuhi segala persyaratannya yakni sistem manajemen klub yang baik dari jajaran direksi paling atas sampai kepada instruksi pelatih di lapangan. Selain itu faktor SDM-nya juga berperan besar yakni kedalaman skuad dan kualitas pemain-pemainnya.

Ada dua cara yang biasa dilakukan oleh klub-klub sepakbola profesional. Pertama, setiap klub melakukan pola pembinaan yang berstruktur dari level junior sampai ke jenjang primavera atau pra-senior. Pada level primavera ini, akan dilakukan pelatihan dan penyeleksian yang super ketat untuk mengambil pemain masuk ke dalam kompetisi yang sesungguhnya. Selain itu, disini setiap klub juga melaukuan perjuduian dengan mengirimkan tim pencari bakat ke negara-negara potensial untuk mencari bibit-bibit unggul dan merekrutnya dengan harga murah. Apabila perjudian itu berhasil, maka harga dari pemain yang direkrut itu akan berkali-kali lipat. Cara biasanya ini dilakukan oleh klub-klub yang tidak memiliki dana berlimpah seperti klub Udinese Calcio (Italia), Dortmund (Jerman), Ajax (Belanda), Montpellier (Perancis), Arsenal (Inggris).

Kedua, klub-klub secara aktif bergerak pada bursa transfer pemain musim panas atau musim dingin untuk menggaet pemain incarannya. Biasanya cara ini dilakukan oleh klub-klub kaya raya seperti Madrid (Spanyol), Manchester City (Inggris), Anzhi Makachkala (Dagestan - Russia). Dengan kekuatan poundsterling-nya klub-klub tersebut menyodorkan dana yang berlimpah untuk merayu pemain dan klub tempat pemain incarannya bermain. Kebanyakan pemain incarannya tersebut adalah pemain yang sudah matang. Hal ini dikarenakan sang owner dari klub tersebut menginginkan prestasi yang instan. Karena prestasi yang didapat sama dengan bertambahnya prestise dan pamor klub tersebut yang menandai dengan betambahnya penggemar dan sponsor dan meningkatkan pula pundi-pundi yang akan didapat.

Dengan semakin berkembangnya sepakbola industri dan terjadinya perbedaan yang mencolok mengenai metode pembentukan skuad antara tim besae dengan tim kecil tersebut membuat gap antara tim besar dan tim kecil semakin kentara saja. Hal ini membuat para  pengamat sepakbola sudah berani memprediksi dan meramal hasil pertandingan yang belum digelar. Sebagai contoh banyak yang meramalkan bahwa The Biggest Match of The Year akan tersaji di Final Liga Champions antara Madrid versus Barcelona. Dengan kekuatan uangnya Madrid menjadi sebuah mesin pembunuh tim-tim yang mencoba menghadangnya. Sebelum laga semifinal kemarin Madrid menjadi tim yang belum terkalahkan di sepanjang kompetisi juara Eropa ini. Sebaliknya, Barcelona yang disebut-sebut sebagai tim terbaik abad ini dengan catatan bahwa dalam lima tahun terakhir selalu berhasil menembus semifinal dan berhasil menggondol dua gelar juara.

Namun, seperti kata pepatah, kita yang berencana, Tuhan yang menentukan. Harapan akan terjadinya laga kolosal El Gran Classico de Champion tidak kesampaian. Di depan bentengnya, Madrid kalah mental melawan pasukan Bavarian. Dan Barcelona kalah strategi dalam menghadapi serangan kejutan The Blues. Sepakbola kembali membuktikan bahwa ia pantas disebut sebagai olahraga terpopular sejagad. Hitung-hitungan di atas kertas tidak berlaku di atas lapangan. Bola bisa bergulir kemana saja, sulit ditebak.

Contoh lain adalah ketika tim amatir dari divisi tiga Liga Perancis, Quevilly, yang berhasil melaju ke partai puncak Piala Perancis melawan Lyon. Dalam perjalanan “dongengnya” Quevilly berhasil mengalahkan tim-tim besar Perancis seperti Marseille di perempat final dan di semifinal mampu membalikan ketertinggalan dari Rennes sebelum memastikan tiket final digenggam dengan skor 2-1.

Namun sayang beribu sayang, mimpi Quevilly untuk mematahkan prediksi para pengamat sepakbola dengan menjuarai ajang tersebut tidak kesampaian. Di partai puncak yang berlangsung semalam, Quevilly kurang beruntung dan harus bertekuk lutut melawan tim yang jumlah pengeluarannya 80 kali lebih besar dari pengeluarannya tersebut. Keasikan menyerang, angan-angan tim pesisir Normandia tersebut dibuyarkan oleh serangan balik cepat yang  berhasil dieksekusi oleh penyerang Lyon, Lisandro Lopez.

Dibalik itu semua, Quevilly telah membuktikan kepada kita bahwa sepakbola itu bukan ilmu pasti yang langsung bisa kita “takdirkan” begitu saja. Masih banyak contoh-contoh dalam dunia sepakbola yang diluar prediksi kita. Tidak ada yang menyangka bahwa pasukan dari negeri para dewa, Yunani, mampu menjuarai Euro 2004. Dan armada Taeguk Gi mampu menjadi semifinalis di Piala Dunia 2006.

Fernando Torres sebelum pertandingan leg kedua semifinal melawan Barcelona pernah berkata bahwa tidak selamanya tim terbaik akan menang. Tidak bisa kita pungkiri bahwa tim-tim seperti Madrid dan Barcelona adalah tim terbaik saat ini. Namun pelatih Atletico Bilbao, Marcelo Bielsa, eks pelatih timnas Chile yang berhasil membawa anak asuhnya berprestasi di ajang Piala Dunia 2010 dan berhasil membawa anak asuhnya sekarang, Bilbao, melenggang ke Final Europe League dengan mengalahkan favorit juara Manchester United, berpendapat bahwa analisis dan prediksi di atas kertas hanyalah cara untuk mendekatkan kita pada kenyataan yang akan terjadi. Tapi, tak seorang pun dapat memastikan kenyataan itu. Walau bagi sebagian orang terdengar agak klise, tapi sangat wajar bila kata-kata indah ini selalu diulang ketika kekalahan tim-tim unggulan seperti El Real dan El Barca terulang. “Sepakbola itu bulat, sulit ditebak ke mana arah bola akan bergulir”.

Hal yang sama juga berlaku dengan kehidupan kita. Terlalu banyak rencana dan keinginan yang hendak dicapai dalam menghadapi hidup ini sementara hanya sebagian kecil saja yang yang bisa tercapai. Di samping itu dalam hidup ini ada dua dimensi  nyata dan gaib. Yang mana hubungannya masih menjadi tanda tanya dan misteri bagi manusia. Dalam Islam sendiri dikenal dengan konsep ikhtiar dan tawakal.

Manusia diberi kesempatan untuk berusaha dan berupaya dengan sekuat-kuatnya tapi keputusan akhir ada pada Allah SWT. Setelah berusaha atau ikhtiar, yang bisa dikerjakan manusia adalah tinggal menyerahkannya (tawakal) kepada Yang Maha Menentukan dengan berdoa dan memohon dengan setulus hati. Bila pada saatnya nanti rencana dan keinginan tersebut terkabul, jangan lupa untuk mensyukuri segala nikmat-Nya dan pergunakan dengan sebaik-baiknya. Dan bila tidak segera terkabul, jangan sampai kita mengeluh atau mencari kambing hitam. Patut ditiru sikap ksatria Pep Guardiola yang dengan jantan mengakui kekalahan timnya dan memutuskan untuk menyerahkan jabatannya kepada asistennya mulai musim depan. Selain itu, sikap Mourinho yang biasanya penuh dengan kontroversial, namun setelah kekalahan tersebut, ia tetap menerimanya dan bahkan memberikan motivasi kepada anak asuhnya untuk melupakan yang terjadi untuk menatap masa depan yang lebih baik.

Ya, idiom klasik sepakbola kembali menyeruak disini. “Kekalahan adalah kemenangan yang tertunda”. Disini Mourinho menyadari bahwa dengan berlarut-larut menangisi kekalahan malah akan menambah permasalahan ke dalam timnya.  Karena kekalahan bukan akhir dari segalanya, tetapi sebaliknya awal dari perjuangan baru yang lebih besar.

Kekalahan dan kemenangan adalah peristiwa sehari-hari. Bagaimana cara kita memandang kekalahan tersebut adalah yang paling berharga. Tidak mungkin apabila kita telah berikhtiar sekuat daya upaya dan senantiasa bertawakal, Allah tidak akan membalas atau mengabulkannya. Mungkin Allah akan mengatur atau menjawabnya di kemudian hari dengan kemenangan-kemenangan yang lebih spektakuler. Di setiap kekalahan yang paling menyakitkan sekalipun pasti terselip sebuah alasan yang memantaskan dirinya untuk mengantarkannya pada kesuksesan.

Jadi kehidupan ini memang tidak bisa ditebak secara pasti. Seperti penggalan lirik lagu Cokelat berjudul Pasrahkan Padanya yang berbunyi:

Seluruh jiwa telah ku pasrahkan padamu
Kuatkanlah hati menjalani hidup
Hanya kepada-Nya kita meminta
Semua yang terjadi, jangan sesali

Ya, jelas bahwa tugas kita hanya menjalani saja  sebaik-baiknya sesuai aturan yang Maha Kuasa karena kehidupan bukan teka-teki atau tebak-tebakan apalagi sebuah perjudian tapi sebuah ujian untuk mengetahui siapa yang paling baik taqwanya.


Terakhir, gampang saja sih. Kalau dalam suatu pertadingan sepakbola hasilnya sudah bisa ditebak dahulu maka pertandingan itu tidak akan seru dan tidak mungkin sepakbola bisa menjadi olahraga terpopular sejagad. Kemudian bila kita mengetahui hidup kita, buat apa juga kita hidup di dunia ini, karena mau ngapain juga kita bakal tahu hasil akhirnya ya kan??

Terus Bergerak Kayak Bola Kawan. Jangan takut orang lain bilang ini-itu tentang PMII. Karena tetap saja, “Manusia yang berencana, tapi Allah-lah yang menentukan.” Hhehe..

Mapaba PMII 2012 Jilid Satu, Menjadi Ikan Di Derasnya Aliran Sungai

Sawangan – Demi mencapai salah satu tujuan organisasinya, PMII Komisariat Fakultas Dakwah (Komfakda) menyelenggarakan proses kaderisasi Mapaba, 22-23 April lalu di Empang Bang Pacun, salah satu senior atau Mabinkom PMII Komfakda. Sesuai dengan temanya, program tersebut bertujuan untuk menciptakan kader-kader yang seimbang dzikir, fikir dan amal. Ada nuansa baru pada pengkaderisasian ini. Selain pertama kali mengadakan mapaba di kawasan pemancingan umum, pada acara ini diuji pula mentalitas para calon kader beserta panitianya.
Seperti biasa, dalam Mapaba para kader diberikan materi-materi yang bermanfaat   seperti materi wajib berupa materi Nilai Dasar Pergerakan (NDP), Ke PMII-an, dan Aswaja; peserta juga mendapat materi tambahan seperti materi Kewirausahaan, Antropologi Kampus, dan juga mendapat tambahan motivasi dari senior seklaigus motivator yang berkompeten dalam bidangnya yakni sahabat Shengky Heaven.
Kemudian, setelah semua materi selesai diberikan, pada Minggu dini hari diadakan “jurik malam”. Dengan rasa kantuk dan keadaan yang gelap gulita, peserta ditantang untuk mendatangi  pos-pos yang telah disiapkan panitia untuk menjawab pertanyaan dan mengikuti segala instruksinya. Pos-pos tersebut menjadi sarana untuk mengetes atau mereview peserta atas materi yang telah diberikan sebelumnya. Selain itu, pada pos keempat yang merupakan pos penyaluran minat dan bakat, peserta akan diarahkan untuk masuk ke berbagai Lembaga Seni Otonom (LSO) yang telah dibentuk Komfakda.
Selanjutnya pada pos kelima. mentalitas peserta diuji. Bila pada pos pertama sampai empat, banyak peserta yang masih mengantuk, pada pos inidijamin rasa kantuknya akan hilang. Setiap peserta ‘digembleng’ kesiapan dan kesungguhannya dalam mengikuti mapaba ini. Tak hanya sampai disitu, peserta beserta panitia yang menjadi penjaga pos-pos sebelumnya, juga dikomandoi untuk menceburkan dirinya ke dasar empang dengan kedalaman setengah meter.
Uji mental ini begitu penting sebagai pembelajaran bersama, mengingat dunia kampus dan sosial di sekitar kita yang semakin tidak karuan menuntut para peserta, panitia, dan semua kader Komfakda untuk meningkatkan kualitas pemikiran dan jiwanya demi menjadi “mesiah” di tengah era “jahiliah” ini.
Kemudian, sebelum prosesi pembaiatan oleh Ketua Umum PMII Cabang Ciputat. Bang Pacun sekaligus pemilik empang menyatakan bahwa berbahagialah kita dan semuanya yang dengan kerelaan hatinya bersedia meluangkan waktunya untuk mengikuti Mapaba ini. Dimana banyak teman-teman lainnya sedang tidur dan bersantai dirumah, namun disini kita rela berbasah-basahan dan bergumul di keruhnya empang serta bersama-sama semangat menuntut ilmu, pengetahuan, dan pengalaman. Disini juga kita dapat menjalin ikatan saliturahmi dengan sesama umat manusia yang sejatinya merupakan makhluk sosial. Selain itu, pelajaran yang bisa diambil dari empang adalah ikan-ikan yang berada di empang tersebut terlihat lamban, gemuk, dan lemah karena senantiasa di manjakan oleh fasilitas yang disediakan oleh pemilik empang. Namun bila dibandingkan dengan ikan di derasnya aliran sungai, terlihat perbedaan yang mencolok. Ikan di sungai tampak kokoh, anggun, dan kuat.
“Hal serupa juga dapat berlaku bagi kita. Ingin menjadi ikan di empang atau ingin menjadi ikan di sungai,” tambah mantan Ketua BEMJ KPI ini.
Dan pilihan kita untuk bergabung dengan PMII Komfakda sudah tepat. Karena kader Komfakda merupakan cerminan ikan di sungai tersebut. Dengan segala perlawanan dan diskriminasi yang dilakukan oleh oknum dekanat beserta “budak-budaknya” yakni SEMAF (BEM) Fakultas dan Jurusan, tapi kader-kader Komfakda bisa tetap vocal bergerak melawan ketidakadilan tersebut yang disertai dengan pencapaian nilai-nilai akademis yang memadai.

Selamat bergabung sahabat. Karena sesuai lirik lagu Sheila On 7 – Berlayar Denganku: Hidup bukan untuk berdiam diri.
Hidup ada untuk kita jalani.
Cobaan bukan untuk ditakuti.
Cobaan harus kita hadapi.
Bagai mengarungi lautan lepas menghadapi ombak badai..
Terus bergerak dan berkarya melawan ketidakadilan.!!

Sabtu, 17 Maret 2012

Bertaruh Nyawa, Pasar Unik di Lintasan Kereta Api

Jakarta – Banyaknya bangunan pencakar langit disertai menjamurnya pusat-pusat pembelanjaan modern, menandai semakin pesatnya kemajuan pembangunan Kota Jakarta. Keberadaan pasar modern yang menawarkan keindahan, kenyamanan, dan pelayanan prima tak urung membuat banyak konsumen yang memberikan respon positif terhadap kehadiran pasar tersebut.

Tidak dipungkiri bahwa kehadiran pasar modern merupakan cerminan dari pola hidup masyarakat yang semakin maju, karena pengelolaannya lebih profesional dan harganya yang dinilai lebih murah. Dengan hadirnya pasar tersebut telah memberikan suatu alternatif bagi konsumen dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Namun, hal itu tidak berlaku bagi masyarakat di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Di wilayah yang menjadi salah satu daerah dengan kepadatan penduduk tertinggi di Asia Tenggara ini, terdapat pasar tradisional yang menjadi denyut nadi perekonomian masyarakat.

Pasar Pos Duri begitu mereka sebut. Uniknya, pasar ini menempati wilayah lintasan  yang masih aktif dilalui kereta antara Stasiun Tanah Abang dan Stasiun Duri. Bermula dari nama Stasiun Duri inilah, penamaan Pasar Pos Duri muncul.

Pasar ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu dan masih bertahan sampai sekarang. Selain dipengaruhi oleh pendapatan per kapita masyarakat Kalianyar yang rendah, ditambah dengan letak wilayah yang kurang mendapat sarana transportasi memadai, menjadikan pasar ini sebagai satu-satunya sentra perekonomian di wilayah ini. Kalaupun ada pasar modern, letaknya yang cukup jauh menjadi pertimbangan tersendiri.

Pasar yang terletak di lintasan kereta ini, tentu jauh dari kata layak bila disandingkan dengan pasar tradisional lainnya. Pasar ini mulai beroperasi sejak dini hari sampai siang hari. Para pedagang menjajakan dagangannya di emperan rel, sehingga memaksa pembeli untuk melakukan transaksi jual beli tepat di atas jalur kereta. Hal ini tentu sangat membahayakan, karena banyak aktivitas jual beli berlangsung pagi hari, disaat jam-jam sibuk operasional kereta. Hampir setiap lima menit sekali terdapat kereta yang melintasi jalur tersebut.

Mengingat letaknya yang berdekatan dengan Stasiun Duri. Saat melintas, kereta akan  mengurangi kecepatannya agar dapat berhenti tepat di area pemberhentian stasiun demi menaikan atau menurunkan penumpang. Namun hal ini tetap saja berbahaya, karena terdapat beberapa kereta yang tetap melintas dengan kecepatan tinggi yakni kereta pembawa bahan bakar minyak serta kereta barang.

Untuk memanggulangi masalah tersebut, disaat kereta mulai mendekat, para pedagang akan memberi isyarat dengan meniup peluit maupun berteriak. Tetapi, terkadang masih banyak masyarakat yang membandel sehingga menjadi korban sambaran kereta. Tercatat selama tahun 2012 ini, sudah dua kali terdapat kasus kecelakaan di sini.

Produk-produk yang dijajakan di pasar ini tidak jauh berbeda dengan pasar pada umumnya, yakni berbagai kebutuhan pokok seperti beras, buah dan sayur, daging dan ikan, serta berbagai jenis panganan dan minuman. Selain itu, di beberapa lapak, terdapat juga pedagang yang menjajakan berbagai jenis pakaian dan mainan anak. Semuanya dijual dengan harga yang relatif lebih murah dibanding dengan pasar modern maupun pasar tradisional lainnya. Faktor ekonomis inilah yang menjadi salah satu alasan banyak pembeli memilih pasar ini, walaupun mereka juga sadar akan bahaya yang akan mereka hadapi.

“Awalnya sih takut juga, tapi karena sudah sering belanja disini, jadi biasa saja. Lagipula harga disini kan lumayan murah dan tempatnya juga dekat dengan rumah jadi bisa irit,” ujar salah seorang pembeli.

Murahnya harga yang ditawarkan terjadi akibat, hampir setiap barang yang dijual, langsung berasal sumbernya. Yakni diperoleh dari hasil panen para petani di wilayah Parung Panjang dan Rangkasbitung. Dimana saat musim panen tiba, mereka langsung membawa hasil panennya ke pasar ini tanpa melalui jasa tengkulak maupun perantara. Hanya dengan menaiki kereta rute Stasiun Rangkas Bitung – Stasiun Jakarta Kota, mereka bisa langsung sampai ke tempat ini.

Walaupun demikian, keberadaan pasar ini bagaikan ‘buah simalakama’ yang kerap memunculkan dilema. Di satu sisi, pasar ini mampu menghadirkan banyak manfaat serta dapat menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat sekitar bahkan masyarakat luar. Namun, pasar ilegal ini kerap memunculkan berbagai permasalahan sosial, seperti, dengan banyaknya pedagang yang menggunakan area rel sebagai lapak, sedikit banyak akan mengganggu akses transportasi kereta yang dapat memicu terjadinya kecelakaan. Selain itu sisa-sisa penjualan yang didiamkan, menambah kesan kumuh kawasan tersebut sehingga rentan dengan kebakaran. Belum lagi tingkat keamanan yang lemah menimbulkan kerawanan terhadap tindakan-tindakan kriminal dan asusila.

Pemerintah melalui instansi terkait, dalam hal ini Perusahaan Jawatan Kereta Api (PKJA) selaku pemilik lahan beserta Dinas Sosial seringkali melakukan penertiban. Namun, yang terjadi adalah para pedagang memindahkan lapaknya di sepanjang Jalan Kalianyar yang mengganggu akses warga. Jalan Kalianyar yang sudah sempit menjadi lebih sesak.

Seiring waktu, setelah berulang kali terkena penertiban, mereka seakan tak kenal lelah untuk kembali menempati pos lamanya. Seperti kata pepatah “Disitu ada gula, disitu terdapat semut”. Walaupun kerap bermain ‘kucing-kucingan’ dengan aparat, serta menggadaikan nyawa sendiri maupun nyawa pembeli di lintasan kereta. Namun, selama masih banyak konsumen yang membutuhkannya, selama itulah pasar ini akan tetap bertahan.

Rabu, 23 November 2011

Pendidikan Pesantren; Sebagai Sebuah Harapan

           Oleh: M. Kholis Hamdi (Mabinkom PMII Komfakda)

Kita masih mengingat ketika Negara Jepang hancur luluh lantah paska sekutu membom Hiroshima dan Nagasaki. Mereka baru bisa merasakan buah dari jerih payah dalam membangun infrastruktur pendidikan setelah menunggu lebih dari beberapa dasawarsa. Namun, dampak investasi yang dipetik Jepang tersebut sangatlah fantastis; mereka mampu menyaingi negara-negara Eropa dan Amerika dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lembaga pendidikan adalah titik awal dalam usaha kesejahteraan yang diupayakan oleh manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa jika tingkat dan kualitas pendidikan rakyat terjamin, maka dengan sendirinya keberkahan dan kesejahteraan akan mengikuti karena pendidikan memiliki peran penting dalam usaha pemerintah dan masyarakat membangun peradaban bangsa.
Dari contoh di atas, hasil yang dipetik dari proses pendidikan tidaklah instant, artinya investasi ini terpetik hasilnya dalam jangka waktu yang panjang. Itulah mengapa pendidikan merupakan sebuah investasi panjang bangsa dalam merencanakan kemajuan di masa yang akan datang. Inipun akan berhasil kalau pemerintah mampu mensinergikan antara pembangunan dalam bidang pendidikan dengan pembangunan di bidang lain seperti ekonomi, politik, sosial, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lainnya.
Selayaknya satuan atau lembaga pendidikan secara filosofis bukanlah lembaga profit yang bertujuan untuk mencari keuntungan dari proses pendidikan dan pengajaran. Lembaga pendidikan dalam berbagai macam bentuknya adalah lembaga sosial yang melakukan pelayanan sosial dalam menyediakan pendidikan bagi masyarakat. Maka apabila ada sebuah lembaga pendidikan yang berposisisi sebagai lembaga profit dan membanderol SPP mahal sebagai imbalan dari proses pendidikan yang diberikan, maka hal tersebut telah bergeser dari landasan filosofis dari pendidikan itu sendiri.
Fenomena yang berkembang sekarang adalah maraknya sekolah-sekolah; baik itu negeri maupun swasta, mulai dari TK hingga perguruan tinggi, yang memberikan bandrol mahal dalam melaksanakan roda pendidikannya. Sekolah-sekolah macam ini berlomba-lomba untuk memberikan harga ‘tinggi’ untuk menjamin kualitas proses pendidikan. Uniknya, sekolah macam ini tidak miskin peminat. Bahkan, mereka harus melakukan ujian saringan untuk mengimbangi minat para orang tua dengan kapasitas kursi yang tersedia.
Sekolah-sekolah yang membandrol biaya mahal berpendapat bahwa kualitas pendidikan berbanding lurus dengan biaya yang ditawarkan. Biaya pendidikan tersebut sebagian besar dialokasikan untuk menjamin kesejahteraan tenaga pendidik dan kelengkapan fasilitas pendidikan. Tanpa bisa menjamin kedua faktor tersebut, kualitas sebuah lembaga pendidikan tidak akan pernah baik. Namun sayangnya, yang harus menjamin kedua hal tersebut adalah orang tua peserta didik (customer) dalam bentuk SPP yang mahal.
Dalam Islam, belajar atau menuntut ilmu adalah wajib. Hal ini merujuk kepada hadits Nabi Muhammad SAW yang menunjukan bahwa mencari ilmu adalah faridlhoh bagi setiap muslim dan muslimat. Menuntut ilmu bukanlah sebuah prestige tapi merupakan sebuah tuntunan agama agar kita bisa berfungsi sebagai khalifah di muka bumi dengan sebaik mungkin. Sifat kehidupan sementara di bumi merupakan sebuah pesan jelas bahwa ilmu apapun bentuknya harus berorientasi sebuah investasi akhirat juga. Esensi ini yang seakan memudar dalam pikiran dan benak kita. Pendidikan seolah dijadikan sebagai pabrik penghasil manusia (SDM) yang siap kerja (produk). Tidak ada salahnya memandang pendidikan secara mekanistik. Tapi, titik tekan sebagai sebuah proses yang berkesinambungan dalam perjalanan hidup seakan dinafikan begitu saja. Ekpektasi orang tua terhadap anak-anak mereka untuk mendapatkan kehidupan lebih baik dari mereka juga tidak salah. Namun, kepercayaan membabi buta terhadap institusi sosial ini membuat mereka lupa bahwa sebuah proses pendidikan yang paling efektip dimulai dari inti terkecil masyarakat itu sendiri; keluarga.
Akhirnya, persepsi yang timbul di masyarakat adalah semakin mahal ongkos pendidikan semakin berkualitas hasil pendidikan terhadap anak-anak mereka. Fakta menunjukkan bahwa lembaga mahal bukanlah jaminan keberhasilan individu. Figur-figur di tingkat nasional; baik politisi, akademisi, tokoh-tokoh agama dan masyarakat dihasilkan tidak semuanya dari lembaga pendidikan yang mahal.
Sayogyanya pendidikan itu menjadi hal yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat atau dengan kata lain murah bahkan kalau bisa tidak dibebankan biaya sama sekali. Berjamurannya sekolah-sekolah berlabel Islam di Indonesia ini adalah berkah dari reformasi yang membuka kran kebebasan selebar-lebarnya bagi rakyat Indonesia untuk mengekspresikan keyakinan mereka. Sekolah-sekolah berlabel Islam sebagian besar maju dalam kuantitas sedangkan kualitas masih kalah bersaing dengan sekolah-sekolah negeri maupun misionaris Kristen meskipun dalam beberapa kasus ada beberapa sekolah berlabel Islam yang menjadi leading di daerahnya masing-masing karena kualitas yang ditawarkan pada masyarakat.
Fenomena lembaga pendidikan berlabel Islam menyisakan banyak pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar terutama bagi Nahdlatul Ulama khususnya LP Maarif NU. Apakah memang benar lembaga pendidikan kita mengusung nilai-nilai keislaman dalam menjalankan roda pendidikannya sehingga layak disebut sebagai lembaga pendidikan Islam (Islamic educational institution) atau justru hanya merupakan kumpulan para pendidik yang beragamakan Islam dan bersiswakan Muslim dan menomorduakan nilai-nilai Islam sehingga lebih pantas disebut sebagai lembaga pendidikan Muslim (Muslim education institution)? Nampaknya hal ini memerlukan penelaahan yang lebih dalam agar kebahagiaan kita dengan fenomena menjamurnya sekolah berlabel Islam tidak menjadi semu dan sia-sia belaka.
Penelaahan pertama tentang sekolah Islam harus diarahkan pada nilai-nilai yang diusung oleh suatu lembaga pendidikan yang meliputi: visi, misi dan tujuan. Sebagaimana kita ketahui bahwasanya nilai-nilai yang dimiliki sebuah lembaga pendidikan adalah potret mendasar yang menjiwai seluruh aktivitasnya. Nilai-nilai tersebut adalah ruh atau jiwa dari seluruh warga sekolah. Tatkala ruh yang terkandung di dalamnya telah rusak, maka sudah dapat ditebak bahwa seluruh komponen lainnya dari lembaga pendidikan tersebut akan otomatis rusak dan berimplikasi langsung terhadap outcome dan outputnya.
Dari pelbagai pandangan filsafat pendidikan Islam seperti Perenial-Esensialis Salafi, Perenial-Esensialis Mazhabi, Modernis, Perenial-Esensialis Kontekstual Falsifikatif dan Rekonstruksi Sosial Berlandaskan Tauhid yang diklasifikasikan oleh Prof. Muhaimin dalam bukunya yang berjudul Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, bagi saya lebih condong kepada yang terakhir karena lebih menonjolkan sikap proaktif dan antisipatif, sehingga tugas pendidikan difungsikan untuk membantu agar manusia menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut, maka fungsi pendidikan Islam adalah sebagai upaya menumbuhkan kreativitas peserta didik, memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai insani dan Illahi, serta menyiapkan tenaga kerja produktif.
Tentunya, terlepas dari pandangan mana yang dianut oleh suatu lembaga pendidikan, sebagai turunan dari pelbagai pandangan filsafat pendidikan Islam, nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah lembaga pendidikan menjadi penting karena merupakan pengejawantahan dari grand design filsafat pendidikan Islam di atasnya. Tatkala sebuah lembaga pendidikan Islam ternyata memasukan unsur nilai yang tidak sesuai dengan filsafat pendidikan Islam, tentunya kita tidak dapat serta merta menyebut sekolah tersebut sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam. Sinkronisasi antara nilai-nilai lembaga pendidikan dengan filsafat pendidikan Islam mutlak terjadi karena bila hal itu gagal dilakukan maka jiwa dari lembaga pendidikan tersebut telah tercerabut.
Setelah penelaahan terhadap nilai-nilai lembaga pendidikan sebaiknya dilakukan, maka kita lanjutkan dengan meneliti kurikulum mata pelajaran yang ditransferkan kepada peserta didiknya. Seringkali kita menemukan sekolah Islam yang ada di Indonesia belum mampu mentransformasikan nilai Islam ke dalam kurikulum yang mereka berikan kepada peserta didiknya. Sungguh tragis ketika kita dengan mudah menemukan para pelajar Islam tercerabut dari akar-akar keislaman mereka justru di lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Pandangan inilah yang mengharuskan kita kembali melihat akar dari pendidikan Islam yang masyarakat NU miliki sehingga kita tidak terjebak dengan pelbagai paradigma dan pendekatan dalam usaha penyelenggaraan pendidikan. Pondok pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan yang memiliki ciri-ciri khas yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya di dunia. Salah satu kekhasan yang dimilikinya adalah melekatnya peran para kyai sebagai tokoh sentral di dalamnya. Mereka mendapatkan keistimewaan lebih karena biasanya kyai adalah pendiri atau keturunan dari pendiri pondok pesantren yang dengan ikhlas tanpa pamrih membangun pondok pesantren untuk kemajuan ummat. Jarang dari mereka yang memiliki ambisi duniawi ketika membangun pondasi pondok pesantren.
Sentral yang kedua yang tidak dapat dipisahkan dari pondok pesantren adalah masjid. Dalam hal ini masjid berfungsi sebagai pusat kegiatan santri, para penghuni pondok pesantren. Masjid di pesantren berfungsi tidak hanya untuk amalan-amalan ukhrowi saja, tapi juga sebagai pusat ekonomi, pembelajaran, dan pemberdayaan. Maka biasanya bangunan yang pertama kali ada dalam sebuah pondok pesantren haruslah masjid, meskipun di kemudian hari tradisi ini mulai berubah.
Pondok pesantren lekat sekali dengan pengkajian ilmu-ilmu ketuhanan (divinity). Para santri bertafaqquh fiddin agar mereka dapat menjadi penyeru bagi ummat-ummatnya. Selain itu, ilmu-ilmu kauniyah pun tidak luput dari kajian mereka. Mereka belajar tauhid, fiqh, al-quran, assunah, sekaligus astronomi, fisika, biologi, kimia, ekonomi, sejarah dan disipilin ilmu lainnya. Dalam dunia pondok pesantren tidak dikenal dikotomi ilmu. Yang ada adalah kesadaran bahwa semua ilmu sumbernya satu: al-‘Alim, Yang Maha Mengetahui. Tentunya ilmu ketuhanan memiliki porsi lebih, hal ini karena berkaitan dengan jenjang prioritas dalam pengklasifikasian ilmu.
Satu hal kekhasan yang dimiliki oleh pesantren dan sangat sulit ditiru oleh lembaga pendidikan lainnya adalah kuatnya usaha penanaman akhlak-akhlak terpuji. Label santri pun secara lahiriyah telah identik dengan kesalehan, baik itu secara individu maupun sosial. Hal ini wajar, karena usaha pembiasaan aplikasi akhlak terpuji telah mendarah daging dalam dunia pendidikan pondok pesantren. Kyai sebagai sentral figur di dalamnya memberikan uswah dan qudwah hasanah dalam pendidikan akhlak. Karena penanaman akhlak lebih mengena dengan perbuatan daripada penjejalan materi di dalam kelas, maka pendidikan akhlak di pondok pesantren sangat mengena di benak para santrinya. Itu pulalah ternyata yang menginspirasi Kemendiknas RI untuk memasukan unsur-unsur pendidikan karakter di sekolah-sekolah, yang diakui terinspirasi dari pendidikan akhlak pondok pesantren.
Karena kekhasannya ini pulalah yang membuat pendidikan pondok pesantren memiliki keunggulan dari macam pendidikan konvensional lainnya. Pendidikan pondok pesantren unggul karena corak pendidikannya yang integratif, tidak parsial. Pola pendidikan holisitik yang diterapkan di lembaga ini telah berjalan lebih dari ratusan tahun dan berhasil mencetak kader-kader bangsa yang ikut andil dalam melahirkan negara ini.
Pendidikan integral pondok pesantren meliputi ranah kurikulum dan aktivitas. Para santri tidak hanya belajar ilmu-ilmu ketuhanan, tapi mereka mengkaji ilmu-ilmu yang memungkinkan mereka bereksplorasi di dunia seperti ilmu alam dan ilmu sosial. Bedanya, pendekatan pengkajian ilmu-ilmu kauniyah tersebut tidak melalui pendekatan sekuleristik di mana ilmu dikeluarkan dari fitrahnya, tapi mereka melakukannya sebagai upaya mengenal bukti-bukti keagungan Allah. Semakin mereka mengetahui rahasia di balik alam semesta, mereka semakin percaya bahwa Allah adalah Sang Maha Agung. Pendekatan ini memberi kekhasan pula akan kesalehan santri dalam semua aspek termasuk dalam ranah intelektual.
Aspek keterpaduan pondok pesantren juga terlihat dalam totalitas kegiatan yang ada di dalamnya. Kegiatan-kegiatan para santri tidak hanya bersangkut paut dengan dunia ragawi tapi juga dunia rohani. Mereka mengasah raga dengan bermain sepak bola dan kalbu dengan shalat lima waktu berjamaah. Mereka melatih kepemimpinan dengan berbagai macam kegiatan keorganisasian, dan dalam waktu yang bersamaan mengerjakan puasa sunnah Senin-Kamis. Begitu seterusnya. Pendidikan pesantren tidak akan pernah parsial tapi senantiasa holistik meliputi pendidikan jasmani, rohani, indrawi, intelektual, emosional dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena pendidikan pondok pesantren selalu terpadu dan merujuk konsep pendidikan hakiki.
Maka wajar karena pendidikan yang dilaksanakan di pondok pesantren adalah pendidikan holistik, maka manusia yang ingin dihasilkan konsep manusia sempurna (insan kamil). Kalau ada diantara mereka setelah mengenyam pendidikan pesantren menjadi ilmuwan, maka mereka diharapakan akan menjadi ilmuwan yang santri dengan atribut ke’saleh’annya. Pun, ketika mereka ditakdirkan untuk menjadi pejabat negara, ada harapan kuat mereka akan menjadi pejabat yang amanah, adil dan bersedia banting tulang untuk menyejahterakan rakyat. begitu dan seterusnya.
Filosofi pendidikan pesantren merupakan salah satu local value yang inherent sudah menjadi bagian kultur pendidikan dan masyarakat Indonesia. Di masa kini, tantangan terhadap dunia pendidikan Indonesia memang berat karena perubahan dan pengaruh paradigma sistem pendidikan a la barat yang sudah kasat menjadi bagian dari sistem pendidikan kita. Persoalannya bukan pada penolakan; tapi terletak pada transformasi dari sebuah keadaan sehingga muncul sebuah akulturasi nilai pendidikan yang ‘pas’ bagi karakter manusia Indonesia. Sehingga upaya menumbuhkan kreativitas peserta didik, memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai insani dan Illahi, serta menyiapkan SDM yang produktip-manfaat bisa terwjud. Juga, sebagai sebuah alat pembangunan, sudah selayaknya pula, pendidikan, yang diamanatkan oleh UU, bukan menjadi barang yang mahal bagi rakyat Indonesia. Dalam hal ini, sistem pendidikan pesantren diharapkan tetap berusaha menjadi salah satu contoh baik sebagai institusi sosial dan investasi jangka panjang dalam membangun bangsa dengan terus berkreasi dan bertranformasi tanpa harus menanggalkan pondasi kuat filosofi pendidikan kepesantrananya, tentunya dengan biaya yang terjangkau jika mungkin, gratis.
Wallhu a'lam

Kp. Utan, Oktober 2011

Fragmen



Oleh: Hasyim Zain

Anak berkantung plastik bekas
lahir di ruang tanpa berkas
berkelahi dengan dunia keras
bernyanyi bebas
berteriak lepas
tersengat matahari: panas.
Anak berkantung plastik bekas
berlari mengejar cakrawala
menjual karya
bukan meminta,
karyanya tak diharga.
Anak berkantung plastik bekas,
menembus malam
di bawah kolong jembatan
berkawan kelam
tak punya harapan

Senin, 14 November 2011

Juwita

Oleh: Ahmad Ubaydillah (Pemred Buletin Muara)

Aku mulai terjatuh di gerbong kereta malam yang kutumpangi saat ini. Berselimutkan asap rokok yang telah kuhisap tiga menit yang lalu, aku tak mampu lagi menahan hasratku yang tiba-tiba saja bertamu tak tahu malu. Beralaskan kegelisahan-kegelisahan dari benak yang bergairah, aku bahkan tak mampu lagi mengalunkan nada-nada yang pelan sekalipun.

Daun-daun yang terus memandangiku, membuatku malu dengan pose telanjangku. Aku juga sangat muak dengan rerumputan yang terus memelototi kemaluanku bersama nafsunya yang ingin sekali menyetubuhiku. Aku merasa bahwa diriku sangat menyebalkan bagi tanah-tanah yang mereka tumpangi.  Karena daun-daun dan rerumputan itu tak mau lagi bersetubuh dengan tanah-tanah itu. Tapi mereka ingin bersetubuh denganku. “Maaf Tanah!” ucapku pelan.

***

Perempuan itu tiba-tiba saja mendekatiku. Lalu ia mulai menghembuskan nafasnya ke lubang telingaku, mengenduskan nafas pelan yang membuat bulu-bulu di leherku meradang. Aku hanya tertegun, dan sesekali kupandang ia penuh harapan. Selanjutnya ia meremas jari-jari kusutku dengan pelan, mengusap-usapkan rambut panjangnya di dadaku. Mengingatkanku pada persetubuhan kucing-kucing tetangga yang sering bermain di jendela kamarku. Perempuan itu semakin teliti membasahi setiap inchi dari tubuhku, hingga ia mulai memperkosa tubuhku. Hingga keperawananku terkoyak.

***

Entah kenapa, tiba-tiba saja aku teringat dengan lagu yang sering dialunkan oleh Bimbim tentang kereta malam. Hingga ia kuberi nama Juwita. Dan dengan panggilan dariku tersebut, ia mulai berani memanggilku dengan nama Dewangga. Walau kurasa nama itu sangat asing di telingaku, tapi biarlah, toh kami sudah sangat puas dengan permainan kami malam ini. Aku bersetubuh dengannya di kereta yang kami tumpangi malam ini.

***

Suara gertakan roda kereta yang kami dengar, mengantarkan kami pada sebuah nyanyian yang lama sekali tak kunyanyikan. Aku bahkan hampir lupa dengan liriknya. Tapi kami saat ini mulai menyanyikannya, berdua di pintu gerbong yang terbuka, hingga suara kami langsung hilang ditelan angin malam. Ia sesekali memelukku pasrah, memandang wajahku penuh asa, lalu mengecup bibirku pelan.

“Dewangga, apa yang kau tahu tentang cinta?”

“Juwita, aku bahkan tak pernah mendengar kata cinta.”

“Dewangga, lantas kata apa yang pernah kau dengar?”

“Juwita, aku sering menjadi orator saat demo di kampus, aku sering menjadi motivator di aula, aku sering menjadi khatib di Masjid, bahkan aku sering menjadi pemandu sorak di festival tahunan sekolah dulu. Jadi aku sangat hafal dengan semua kata yang pernah ada. Tapi aku berani bersumpah, kalau aku tak pernah mendengar kata cinta.”

“Dewangga, lantas dengan kata apa aku harus menyatakan cintaku?”

“Juwita, aku saat ini sangat familiar dengan kata Mati.”

“Dewangga, haruskah aku menyatakan cinta dengan mengucapkan kata mati?”

“Entahlah.”

***

Udara malam ini membuat dadaku sesak tidak karuan. Sesekali udara itu masuk melalui lubang kiri hidungku, dan sesekali udara itu keluar melalui lubang kanan hidungku. Nada-nada dari nyanyian yang kami nyanyikan tadi sudah lenyap entah lari kemana. Yang kudengar hanya bunyi raungan sambungan gerbong yang meneriakkan sesuatu yang tak dimengerti oleh semua orang. Juga rintihanku yang menahan sedikit rasa sakit di leherku.

Otakku mulai dingin, mataku mulai rabun, hidungku mulai tersumbat, mulutku mulai menganga, tanganku mulai kaku, tubuhku mulai menggigil tak tentu. Aku mulai tak sadarkan diri. Tetapi satu hal yang saat ini kusadar, bahwa ia telah membunuhku.

“Terimakasih Juwita, telah mengenalkanku kata cinta”

“Terimakasih Juwita, memberiku kesempatan bersetubuh dengan tanah”

“Aku bahagia”

Jumat, 11 November 2011

Pekerjaan Rumah Pemuda Indonesia

Oleh: Hagian Sukarna

Dalam sebuah bangsa, pemuda selalu menjadi tulang punggung negara (backbone of the nation). Pemuda dengan semangat, keberanian dan amarahnya menjadi pelengkap puzzle-puzzle sejarah perjalanan bangsa. Reformasi 1998 hampir dua belas tahun berlalu. Reformasi kala itu disuarakan lantang oleh para pemuda Indonesia, yang dalam hal ini adalah mahasiswa. Klimaks dari perjuangan ketika itu adalah runtuhnya tiran dan terbukanya kran demokrasi yang sesungguhnya. Proses ini mengingatkan kita pada kejadian heroik, betapa gagahnya para pemuda dalam menggapai cita-cita keadilan. Potret seperti inilah yang akan selalu jadi catatan sejarah yang tak kalah penting dari gerakan pemuda Boedi Oetomo tahun 1908 dan ikrar Sumpah Pemuda pada 1928.

Setelah terbukanya kran demokrasi, generasi pemuda Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah yang masih harus terus diperjuangkan. Contohnya adalah gerakan moral seputar keadilan dalam hukum, keamanan, pemerataan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan hak-hak asasi manusia. Untuk menunjang gerakan-gerakan tersebut, tentunya pemuda membutuhkan sebuah stimulan besar dalam bentuk literasi. Fungsinya adalah agar gerakan-gerakan pemuda Indonesia kini tidak bergeser dari substansi. Karena gerakan pemuda dewasa ini terkenal dengan gaya urakan, terkesan tidak tertib, agresif dan destruktif.

Bung Karno pernah berkata: berikan sepuluh pemuda kepadaku, maka aku akan mengguncang dunia! Pernyataan Bung Karno tersebut adalah sebuah pernyataan optimisme yang tidak berlebihan. Dengan munculnya berbagai gerakan, komunitas, aliansi dan lembaga-lembaga masyarakat yang dikomandani oleh para pemuda Indonesia. Maka ini adalah jawaban dari optimisme pernyataan Bung Karno dan bentuk kesadaran kolektif kaum muda Indonesia.

Dunia tak lagi dibatasi jarak dan waktu. Ilmu pengetahuan sudah semakin mudah diakses untuk dikonsumsi sebagai penunjang intelektualitas. Kiranya tidak ada lagi alasan pemuda untuk tidak berfikir visioner dan positif untuk kemajuan pribadinya dan bangsanya. Kita pun akan sepakat dengan apa yang pernah disampaikan Mario Teguh : orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu, sedang orang-orang yang masih terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan.

Kamis, 10 November 2011

Denda Sepuluh Ribu Rupiah!


Oleh Alamsyah M. Dja’far

Saya masih ingat seloroh seorang teman. “Di Indonesia ini terlalu banyak aturan. Itu dilarang, ini dilarang. Begini denda, begitu denda”. Sebetulnya, tambahnya, yang perlu di atur itu cuma dua: pertama, dilarang pakai sepatu saat masuk masjid. Kedua, merokok di pom bensin. Selain keduanya, boleh.
 
Dipikir-dipikir, mungkin  ada betulnya. Negara ini terlalu sering membuat peraturan. Semakin banyak dibuat, rasanya makin banyak saja yang dilanggar. Sepertinya, peraturan dibuat memang untuk dilanggar. Tak percaya? Tanya saja pada anggota DPR.

Saya pernah baca papan larangan buang sampah di aliran sungai. “Dilarang buang sampah disini. Perda DKI No 8 Tahun 2007 Pasal 21. Pidana kurungan paling lama 60 hari, paling banyak Rp. 20 juta. Tapi, hampir setiap saat ada saja orang yang buang sampah. Larangan berarti perintah. Dilarang itu artinya dibolehkan. “Disini” loh, bukan “di sini” –ah, saya jadi ingat info penjualan rumah “Dijuwal rumah TP”.  

Di Jalan Raya Pasar Minggu, saya lihat papan pengumaman larangan berjualan di trotoar. “Di larang berjualan di sepanjang trotoar ini. Perda DKI No 8 Tahun 2007. Sanksi Penjara paling lama 60 hari denda paling banyak Rp. 20 juta.” Tapi setiap pukul 4 hingga menjelang malam, ratusan pedagang nyaman saja berjualan, bahkan di bawah papan pengumuman itu.

Jika anda penikmat kereta dalam kota, larangan seputar hal ihwal menikmati transportasi publik itu bertaburan. Mulai dari sebaran, spanduk, hingga papan permanen dengan tulisan warna merah. “Di larang menumpang di atap kereta. UU No. 23 Tahun 2007 Pasal 183 ayat 1. Pidana 3 bulan, denda Rp. 15 Juta.”  Dilarang berjalan di sepanjang rel kereta api. Tapi, setiap hari pemandangan menumpang kereta di atas kereta api adalah hal lumrah. Ya, lumrah saja seperti anda menghirup udara.

Ada pula larangan berjualan di peron kereta api. Tapi pengelola stasiun sepertinya menjadikan larangan itu sebagai alat tawar menaikan harga sewa. Setiap bulan, ada rupiah secara tak halal mengalir ke kepala stasiun. 

***
Melesat pukul 7 dari kantor, bersama seorang teman kerja, kami tiba di stasiun Manggarai pukul 7.20 naik bajaj. Di sepanjang jalan, sopir bajaj cerita berisi kritik atas kinerja pemerintah. Lumayan sekedar menyerap aspirasi.
 
Seperti biasa StasiunManggarai ramai disesaki orang-orang pulau kerja. Para pedangang masih tampak sibuk menjajakan dagangannya: gorengan, siomay, indomie rebus, koran, otak-otak, atau CD bajakan. Setelah menunggu beberapa saat, kereta yang kami tunggu datang: kereta ekonomi Stasiun Kota- Bogor. Suasana tak terlalu penuh. Tentu saja untuk ukuran kereta pukul 8 malam. Artinya masih tidak berhimpit-himpitan hingga tak leluasa bernafas. Di atap gerbong, seperti biasa puluhan anak muda duduk dengan santai sambil bersenda gurau. Nyaman sekali. Persis kereta berhenti, kami berdua melompat naik. Memilih posisi di bagian dalam dekat persambungan kereta. Suasana seperti biasa. Didorong-dorong dari belakang. 

Tak lama, kereta bergerak. Sepanjang perjalanan kami bicara ngalor-ngidul seputar berita aktual atau hal remeh-temeh. Di samping kami, sepasang muda-muda saya lihat sedang berpelukan mesra. Mesra sekali. Si pria tak jarang membelai rambut pasangannya dalam hitungan waktu yang teratur. Mungkin sepuluh menit sekali. Si wanita kadang-kadang memandang wajah pasangannya itu sembari tersenyum. Sikap mereka biasa saja, tak rikuh, serasa hanya mereka berdua yang menumpang kereta delapan gerbong ini. Saya yang malu wahai kawan!!!
Di depan pasangan muda tadi, tiga wanita muda yang duduk di bangku kereta bercengkrama sambil menodongkan muka. Tak jarang mereka cekikikan. Entah apa yang ditertawakan. Di kereta ekonomi orang cekikikan sudah pemandangan biasa, meski di tengah situasi kereta mirip saat thawaf haji yang berjubel-jubel. Itulah cara menikmati kesengsaraan.

Dari mencuri dengar saya tahu ketiga wanita itu membicarakan seputar pekerjaan sebagai salah satu materi obrolan. Kali lain mereka bicara tentang pacar-pacar mereka. “Meski nggak cakep aku kok heran yah, suka banget sama dia,” kata wanita muda berambut sebahu. “Hei, sekarang ini tampang cakep nggak jamin setia!!,” timpal wanita yang bermata bulat. Aih!!! Kami berdua tersenyum.

Sambil asyik mengobrol, kadang-kadang mencuri dengar obrolan tiga wanita muda itu mata saya tertumbuk pada baris-baris kata yang ditulis menggunakan spidol hitam di dinding kereta di bawah kotak rem. Posisinya ada di antara pintu persambungan dengan kaca jendela kereta. Bunyinya begini:

Perda No 10 tahun 2010
Pasal 1. Pacaran di atas kereta denda Rp. 10.0000 
Pasal 2. Godain isteri orang denda Rp. 15.000
Pasal 3. Tidur di kereta Denda Rp. 5.000  
Ditetapkan di Jakarta 2010.
 Depok, April 2011